Senin, 19 November 2012

corporate social responsibility


Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970an dan semakin populer terutama setelah kehadiran buku Cannibals With Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998), karya John Elkington. Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth, environmental protection, dan social equity, yang digagas the World Commission on Environment and Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga fokus: 3P, singkatan dari profit, planet dan people. Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan ekonomi belaka (profit). Melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan kesejahteraan masyarakat (people).

Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan sebenarnya telah lama melakukan CSA (Corporate Social Activity) atau “aktivitas sosial perusahaan”. Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan lingkungan. Melalui konsep investasi sosial perusahaan “seat belt”, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi kepada berbagai perusahaan nasional.

Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan bahwasanya kegiatan perusahaan membawa dampak – for better or worse, bagi kondisi lingkungan dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi. Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders atau para pemegang saham. Melainkan pula stakeholders, yakni pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan.

Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa dan pemerintah selaku regulator. Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dengan lainnya, tergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan (Supomo, 2004).



Undang – Undang CSR

Di Tanah Air, debut CSR semakin menguat terutama setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU PT No.40 Tahun 2007 yang belum lama ini disahkan DPR. Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1).

UU PT tidak menyebutkan secara rinci berapa besaran biaya yang harus dikeluarkan perusahaan untuk CSR serta sanksi bagi yang melanggar. Pada ayat 2, 3 dan 4 hanya disebutkan bahwa CSR ”dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran”. PT yang tidak melakukan CSR dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan.
Peraturan lain yang menyentuh CSR adalah UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 15 (b) menyatakan bahwa ”Setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.” Meskipun UU ini telah mengatur sanksi-sanksi secara terperinci terhadap badan usaha atau usaha perseorangan yang mengabaikan CSR (Pasal 34), UU ini baru mampu menjangkau investor asing dan belum mengatur secara tegas perihal CSR bagi perusahaan nasional.

Jika dicermati, peraturan tentang CSR yang relatif lebih terperinci adalah UU No.19 Tahun 2003 tentang BUMN. UU ini kemudiaan dijabarkan lebih jauh oleh Peraturan Menteri Negara BUMN No.4 Tahun 2007 yang mengatur mulai dari besaran dana hingga tatacara pelaksanaan CSR. Seperti kita ketahui, CSR milik BUMN adalah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL).
Definisi CSR (Corporate Social Responsibility) adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. COntoh bentuk tanggungjawab itu bermacam-macam, mulai dari melakukan kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perbaikan lingkungan, pemberian beasiswa untuk anak tidak mampu, pemberian dana untuk pemeliharaan fasilitas umum, sumbangan untuk desa/fasilitas masyarakat yang bersifat sosial dan berguna untuk masyarakat banyak, khususnya masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut berada. Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan fenomena strategi perusahaan yang mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder-nya. CSRtimbul sejak era dimana kesadaran akan sustainability perusahaan jangka panjang adalah lebih penting daripada sekedar profitability.
Seberapa jauhkah CSR berdampak positif bagi masyarakat ?
CSR akan lebih berdampak positif bagi masyarakat; ini akan sangat tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga dan organisasi lain, terutama pemerintah. Studi Bank Dunia (Howard Fox, 2002) menunjukkan, peran pemerintah yang terkait dengan CSRmeliputi pengembangan kebijakan yang menyehatkan pasar, keikutsertaan sumber daya, dukungan politik bagi pelaku CSR, menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan organisasi. Untuk Indonesia, bisa dibayangkan, pelaksanaan CSR membutuhkan dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum, dan jaminan ketertiban sosial. Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus berperan sebagai koordinator penanganan krisis melalui CSR (Corporate Social Responsibilty). Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintah memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi atau pengancaman satu pihak terhadap yang lain.
Perusahaan yang sudah menerapkan CSR menurut saya perusahaan PLN. Perusahaan ini banyak sekali membantu masyarakat, contohnya adalah memberikan pendidikan dan penyuluhan gratis kepada masyarakat demi meningkatkan kemandirian masyarakat. Disamping itu pula perusahaan PLN memberikan Program Desa Mandiri Energi diantaranya.
1.      Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro, alat ini menggunakan pasokan air yang ada di daerah terpencil.
2.      Pembangkit Listrik Biogas, alat ini menggunakan kotoran ternak.
Masyarakat tentunya sangat terbantu oleh PT. PLN karena listrik telah sampai ke rumah mereka. Melihat bahwa listrik merupakan kebutuhan dasar masyarakat, maka penting sekali bagi PT. PLN dan masyarakat untuk bergandengan tangan agar kedua belah pihak saling menguntungkan.
                       http://www.pln.co.id

Senin, 05 November 2012

TUGAS ETIKA BISNIS


CONTOH KASUS
Kasus Sedot Pulsa di Indonesia Makin Merajalela 2012- Pada awal Oktober lalu, seorang pengguna melaporkan penyedotan pulsanya oleh operator. Ia langsung melaporkan kasus tersebut kepada pihak berwajib, sontak satu negeri pun heboh. Awal dari kasus pencurian pulsa itu adalah ketika pengguna mendapat SMS, dan tanpa sepengetahuan pengguna, pulsa habis tersedot beberapa rupiah.
Pemotongan pulsa tersebut memang berawal merespon SMS dari content provider (CP) oleh para pengguna. Karena sudah dianggap mengganggu banyak pengguna yang berhenti berlangganan. Namun sayangnya, hal tersebut sulit dilakukan.
Atas semakin banyaknya aksi penyedotan pulsa pelanggan, aksi protes pun semakin ramai di sejumlah daerah. Contohnya di Surabaya, beberapa kelompok melakukan aksi protes dengan membakar kartu seluler.
Modus penyedotan pulsa pun kian hari semakin beragam. Jika sebelumnya pengguna membalas SMS dari penyedia layanan maka pulsa otomatis akan terpotong, kali ini, hanya dengan membuka SMS saja pulsa langsung raib beberapa ribu rupiah.
Bahkan Menteri Kominfo Tifatul Sembiring sampai harus mendesak Badan Regulasi Telekomunikasi (BRTI) untuk memerintahkan operator yang terbukti melakukan pencurian pulsa, agar segera mengembalikannya. Para operator mengaku kepada BRTI bahwa mereka sedang dalam proses dan sudah mengembalian pulsa pelanggan yang tercuri.
Rapat evaluasi surat edaran 177 dari BRTI yang melibatkan operator dan Kominfo, mengevaluasi beberapa poin di surat edaran tersebut, antara lain adalah pengembalian (refund) pulsa ke pelanggan.
Pihak BRTI juga sudah mengamini bahwa para operator yang CP-nya bermasalah sedang dalam proses mengembalikan kerugian para pelanggannya, berikut beserta rincian cara pengembaliannya, yang contohnya bisa melalui gerai-gerai operator yang bersangkutan.
BRTI sendiri memperkirakan ada sekira 60 Content Provider yang melakukan pencurian pulsa dan sudah di-blacklist. Namun sayangnya nama 60 CP tersebut tidak diumumkan. Pihak BRTI juga menambahkan bahwa masalah ini sebenarnya sudah ada sejak lama, tapi sebelumnya masyarakat tidak tahu istilah CP, mereka hanya tahu pengurangan pulsa ini dilakukan oleh operator. Kini barulah mereka mengerti bahwa yang salah bukan operator melainkan CP yang selalu memotong pulsa mereka.



Analisis Kasus
Dilihat dari contoh kasus diatas bahwa konsumen sangat dirugikan dalam hal pencurian pulsa oleh Content Provider (CP) yang tidak bertanggung jawab atas mengambil pulsa milik konsumen. Konsumen berhak mendapatkan perlindungan dari UU Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 didalam UU tersebut di jelaskan bahwa konsumen mendapatkan hak kenyamanan, keamanan dan keselamatan. Para operator juga harus bertanggung jawab atas kehilangan pulsa yang diderita oleh konsumen dan harus menghukum para CP yang bermasalah. Apalagi dalam etika berbisnis yang dilakukan oleh para operator, mereka harus menghargai konsumen sebagaimana operator dihargai oleh konsumen dalam memakai providernya. Dan juga perlu UU mengenai telekomunikasi yang mempunyai sangkutan atas kasus diatas, UU tentang Telekomunikasi Nomor 36 Tahun 1999.