Perkembangan Perbankan di Indonesia Setelah Indonesia merdeka pada bulan Agustus1945, sebagian besar bank di Indonesia adalahberasal dari lembaga keuangan Belanda yang telahberoperasi antara dua hingga tiga dekade diIndonesia. Lembaga-lembaga tersebut digunakanuntuk mengeksploitasi Indonesia bagi keuntunganBelanda VOC (Verenigde Oost-IndischeCompagnie). Bank-bank Indonesia sendiri barumulai didirikan pada tahun 50-an dengan adanyaketentuan pemerintah pada saat itu, untukmenasionalisasikan dan menyita ratusan parusahaanmaupun lembaga keuangan milik Belanda ataunegara-negara sekutu.
Saat itu bank-bank swasta dan bank-bank joint venture mulai bermunculan.Pada waktu itu bank-bank swasta utama mendapat fasilitaskhusus dari pemerintah sebagai ganti pembiayaan atas merekapada berbagai proyek di sektor ekonomi.Sebaliknya bank pemerintah hanyalah merupakan kepanjanganpemerintah untuk mendistribusikan dana pemerintah tanpaperlu berlaku efisien, efektif dan kompetitif secarastrategis. Adanya dualisme dalam tujuan telah memperlemahindustri perbankan Indonesia secara umum mengingat bahwaseluruh bank pemerintah mengontrol lebih dari 80 persenkredit yang didistribusikan kepada pasar.Pemikiran seperti ini menjadi masalah biasa pada bank-bankpemerintah hingga krisis yang terjadi di Asia pada tahun 1997.Bahkan hingga kini saat kebanyakan dari mereka masihmenjalankan restrukturisasi dan reorientasi besar-besaran.
Jatuhnya Industri Perbankan IndonesiaJatuhnya industri perbankan Indonesia secara garis besaradalah karena dikeluarkannya Paket Deregulasi SektorKeuangan 27 October 1988 (PAKTO 88), dan krisismoneter hanya merupakan pencetus yang mempercepatjatuhnya sektor perbankan. Dengan dikeluarkannyaPAKTO 88, jumlah bank dan kantor cabang meningkattajam antara tahun 1989 dan 1990. Jumlah bankkomersial naik 50 persen dari 111 bank pada Maret 1989menjadi 176 bank pada Maret 1991.
Untuk menarik investor asing agar menghasilkan bisnis yangmenguntungkan, pemerintah mengizinkan pendirian bank jointventure.Peraturan yang baru sangat efektif:o Jumlah bank komersial lokal meningkat dari 63 tahun 1988 menjadi 144 tahun 1997o Jumlah kantor cabang naik dari 559 tahun 1988 menjadi 4.150 tahun 1997o Jumlah bank asing, termasuk bank joint venture, tumbuh dari 11 tahun 1988 menjadi 44 tahun 1997, dengan jumlah kantor cabang meningkat dari 21 menjadi 90 di tahun yang sama.o Bank Pemerintah meningkat dari 815 tahun 1988 menjadi 1,527 tahun 1997.Banyak bank lokal yang didirikan sebagai bagian dari kelompokperusahaan besar.Bank-bank tersebut memberikan pendanaan untuk mendukungpertumbuhan bisnis kelompok usahanya.
Jatuhnya Industri Perbankan IndonesiaPada tahun 1998, ekonomi Indonesia jatuh dimana tidakseorangpun yang dapat menyelamatkan. Minimnyalikuiditas dan hilangnya kepercayaan masyarakat padasektor perbankan menghasilkan saldo negatif (negativebalance) pada clearingaccount bank-bank tersebut denganBank Indonesia.Kepailitan sektor keuangan di Indonesia terlihat denganadanya liquidasi terhadap 16 bank swasta oleh BankIndonesia pada tahun 1998. Masyarakat banyak yangmenarik uang dari tabungannya dan membuat masalahlikuiditas pada bank-bank tersebut. Untuk mengantisipasikondisi tersebut, pemerintah memberikan BantuanLikuiditas kepada bank-bank yang mengalami masalah danProgram Garansi kepada deposito masyarakat.
Bangkitnya Perbankan IndonesiaPerkembangan industri perbankan Indonesia setelah krisisekonomi tidak dapat dipisahkan dengan Badan PenyehatanPerbankan nasional (BPPN). Lembaga ini didirikan padatahun 1998 untuk mendapatkan kembali kepercayaanmasyarakat pada industri ini, merestrukturisasi, menjualaset dan memulihkan kembali dana bantuan pemerintahyang telah disuntikkan untuk mencegah keterpurukanindustri perbankan serta menutup defisit anggaran negaradan mempersiapkan transisi industri perbankan sebelumBPPN dibubarkan. BPPN telah berhasil mendivestasikanataupun memprivatisasikan semua bank-bank pemerintahbesar yang selama ini dikenal sebagai fondasi industriperbankan Indonesia.
Perkembangan Perbankan di IndonesiaDalam dunia Perbankan di Indonesia dalam kurun waktubelakangan ini mengalami berbagai macam perubahan.Dalam pembahasan ini Kita bahas 4 macam periode yangpernah terjadi di Indonesia :1. Dari tahun 1988-19962. Dari tahun 1997-19983. Dari tahun 1999-20024. sampai sekarang.
1. Periode 1988 – 1996 Dikeluarkannya paket deregulasi 27 Oktober 1988 (Pakto88), antara lain berupa relaksasi ketentuan permodalanuntuk pendirian bank baru telah menyebabkan munculnyasejumlah bank umum berskala kecil dan menengah. Padaakhirnya, jumlah bank umum di Indonesia membengkakdari 111 bank pada Oktober 1988 menjadi 240 bank padatahun 1994‐1995, sementara jumlah Bank PerkreditanRakyat (BPR) meningkat drastis dari 8.041 pada tahun1988 menjadi 9.310 BPR pada tahun 1996
2. Periode 1997 – 1998 Pertumbuhan pesat yang terjadi pada periode 1988 – 1996 berbalik arah ketika memasuki periode 1997 – 1998 karenaterbentur pada krisis keuangan dan perbankan. BankIndonesia, Pemerintah, dan juga lembaga‐lembagainternasional berupaya keras menanggulangi krisistersebut, antara lain dengan melaksanakan rekapitalisasiperbankan yang menelan dana lebih dari Rp 400 triliunterhadap 27 bank dan melakukan pengambilalihankepemilikan terhadap 7 bank lainnya.
Secara spesifik langkah‐langkah yang dilakukan untukmenanggulangi krisis keuangan dan perbankan tersebut adalah: Penyediaan likuiditas kepada perbankan yang dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Mengidentifikasi dan merekapitalisasi bank‐bank yang masih memiliki potensi untuk melanjutkan kegiatan usahanya dan bank‐bank yang memiliki dampak yang signifikan terhadap kebijakannya Menutup bank‐bank yang bermasalah dan melakukan konsolidasi perbankan dengan melakukan marger Mendirikan lembaga khusus untuk menangani masalah yang ada di industri perbankan seperti Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Memperkuat kewenangan Bank Indonesia dalam pengawasan perbankan melalui penetapan Undang‐Undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia yang menjamin independensi Bank Indonesia dalam penetapan kebijakan.
3. Periode 1999 – 2002 Krisis perbankan yang demikian parah pada kurun waktu 1997 –1998 memaksa pemerintah dan Bank Indonesia untuk melakukanpembenahan di sektor perbankan dalam rangka melakukan stabilisasisistem keuangan dan mencegah terulangnya krisis. Langkah pentingyang dilakukan sehubungan dengan itu adalah: Memperkuat kerangka pengaturan dengan menyusun rencana implementasi yang jelas untuk memenuhi 25 Basel Core Principles for Effective Banking Supervision yang menjadi standard internasional bagi pengawasan bank Meningkatkan infrastruktur sistem pembayaran dengan mengembangkan Real Time Gross Settlements (RTGS) Menerapkan bank guarantee scheme untuk melindungi simpanan masyarakat di bank Merekstrukturisasi kredit macet, baik yang dilakukan oleh BPPN, Prakarsa Jakarta maupun Indonesian Debt Restrukturing Agency (INDRA) Melaksanakan program privatisasi dan divestasi untuk bankbank BUMN dan bank‐bank yang direkap Meningkatkan persyaratan modal bagi pendirian bank baru.
4. Periode 2002 – SekarangBerbagai perkembangan positif pada sektor perbankansejak dilaksanakannya program stabilisasi antara laintampak pada pemberian kredit yang mulai meningkat padainovasi produk yang mulai berjalan, seperti pengembanganproduk derivatif (antara laincredit linked notes), sertakerjasama produk dengan lembaga lain (reksadana danbancassurance).
Jumlah Bank Umum 5 Tahun Terakhir 2011Keterangan 2007 2008 2009 2010 (Septem ber)Jumlah Bank 130 126 131 122 121
JUMLAH BANK UMUM 5 TAHUN TERAKHIR Jumlah Bank Umum 132 130 128 126 124 122 120 118 116 2011 2007 2008 2009 2010 (Septe mber)Jumlah Bank Umum 130 126 131 122 121
Jumlah Kantor Cabang Bank Umum 5 Tahun Terakhir 2011 Keterangan 2007 2008 2009 2010 (Septem ber)Jumlah Kantor 2633 2759 2902 3099 3202 Cabang
JUMLAH KANTOR CABANG BANK UMUM 5 TAHUN TERAKHIR Jumlah Kantor Cabang 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0 2011 2007 2008 2009 2010 (Septe mber)Jumlah Kantor 2633 2759 2902 3099 3202 Cabang
Jumlah Bank PerkreditanRakyat/Syariah 5 Tahun Terakhir 2011 Keterangan 2007 2008 2009 2010 (Septem ber)Jumlah BPR/S 605 655 829 990 1070
Jumlah Bank PerkreditanRakyat/Syariah 5 Tahun Terakhir Jumlah BPR/S 1200 1000 800 600 400 200 0 2011 2007 2008 2009 2010 (Septe mber) Jumlah BPR/S 605 655 829 990 1070
Jumlah Kantor Cabang BPR/S 5 Tahun Terakhir 2011 Keterangan 2007 2008 2009 2010 (Septem ber)Jumlah Kantor 1139 1309 1663 2001 2202 Cabang
Jumlah Kantor Cabang BPR/S 5 Tahun Terakhir Jumlah Kantor Cabang 2500 2000 1500 1000 500 0 2011 2007 2008 2009 2010 (Septe mber)Jumlah Kantor 1139 1309 1663 2001 2202 Cabang.
Di Indonesia, praktek perbankan sudah tersebar sampai ke pelosok pedesaan. Lembaga keuangan berbentuk bank di Indonesia berupa Bank Umum, Bank Perkreditan Rakyat (BPR),
Bank Umum Syari’ah, dan juga BPR Syari’ah (BPRS).
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia mengenal dunia perbankan dari bekas penjajahnya, yaitu Belanda. Oleh karena itu, sejarah perbankanpun tidak lepas dari pengaruh negara yang menjajahnya baik untuk bank pemerintah maupun bank swasta nasional.
Pada 1958, pemerintah melakukan nasionalisasi bank milik Belanda mulai dengan Nationale Handelsbank (NHB) selanjutnya pada tahun 1959 yang diubah menjadi Bank Umum Negara (BUNEG kemudian menjadi Bank Bumi Daya) selanjutnya pada 1960 secara berturut-turut Escomptobank menjadi Bank Dagang Negara (BDN) dan Nederlandsche Handelsmaatschappij (NHM) menjadi Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) dan
kemudian menjadi Bank Expor Impor Indonesia (BEII).
Berikut ini akan dijelaskan secara singkat sejarah bank-bank milik pemerintah, yaitu :
• Bank Sentral
Bank Sentral di Indonesia adalah Bank Indonesia (BI) berdasarkan UU No 13 Tahun 1968. Kemudian ditegaskan lagi dnegan UU No 23 Tahun 1999.Bank ini sebelumnya berasal dari De Javasche Bank yang di nasionalkan di tahun 1951.
• Bank Rakyat Indonesia dan Bank Expor Impor
Bank ini berasal dari De Algemene Volkscrediet Bank, kemudian di lebur setelah menjadi bank tunggal dengan nama Bank Nasional Indonesia (BNI) Unit II yang bergerak di bidang rural dan expor impor (exim), dipisahkan lagi menjadi:
1. Yang membidangi rural menjadi Bank Rakyat Indonesia dengan UU No 21 Tahun 1968.
2. Yang membidangi Exim dengan UU No 22 Tahun 1968 menjadi Bank Expor Impor Indonesia.
• Bank Negara Indonesia (BNI ’46)
Bank ini menjalani BNI Unit III dengan UU No 17 Tahun 1968 berubah menjadi Bank Negara Indonesia ’46.
• Bank Dagang Negara (BDN)
BDN berasal dari Escompto Bank yang di nasionalisasikan dengan PP No 13 Tahun 1960, namun PP (Peraturan Pemerintah) ini dicabut dengan diganti dengan UU No 18 Tahun 1968 menjadi Bank Dagang Negara. BDN merupakan satu-satunya Bank Pemerintah yangberada diluar Bank Negara Indonesia Unit.
• Bank Bumi Daya (BBD)
BBD semula berasal dari Nederlandsch Indische Hendles Bank, kemudian menjadi Nationale Hendles Bank, selanjutnya bank ini menjadi Bank Negara Indonesia Unit IV dan berdasarkan UU No 19 Tahun 1968 menjadi Bank Bumi Daya.
• Bank Pembangunan Daerah (BPD)
Bank ini didirikan di daerah-daerah tingkat I. Dasar hukumnya adalah UU No 13 Tahun 1962.
• Bank Tabungan Negara (BTN)
BTN berasal dari De Post Paar Bank yang kemudian menjadi Bank Tabungan Pos tahun 1950. Selanjutnya menjadi Bank Negara Indonesia Unit V dan terakhir menjadi Bank Tabungan Negara dengan UU No 20 Tahun 1968.
• Bank Mandiri
Bank Mandiri merupakan hasil merger antara Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dan Bank Expor Impor Indonesia (Bank Exim). Hasil merger keempat bank ini dilaksanakan pada tahun 1999.
Dari waktu ke waktu kondisi dunia perbankan di Indonesia telah mengalami banyak perubahan. Selain disebabkan oleh perkembangan internal dunia perbankan, juga tidak terlepas dari pengaruh perkembangan di luar dunia perbankan, seperti sektor riil dalam perekonomian, politik, hukum, dan sosial. Perkembangan faktor internal dan external tersebut menyebabkan kondisi perbankan di Indonesia dapat dikelompokan dalam 4 periode.
Masing-masing periode mempunyai ciri khusus yang tidak dapat disamakan dengan periode lainnya. Deregulasi di sektor riil dan moneter yang dimulai sejak tahun 1980-an serta terjadinya krisis ekonomi di Indonesia sejak akhir tahun 1990-an adalah dua peristiwa utama yang telah menyebabkan munculnya empat periode kondisi perbankan di Indonesia sampai dengan tahun 2000.
Keempat periode itu adalah :
• Kondisi perbankan di Indonesia sebelum serangkaian paket – paket deregualsi di sektor riil dan moneter yang dimulai sejak tahun 1980-an.
• Kondisi perbankan di Indonesia setelah munculnya deregulasi sampai dengan masa sebelum terjadinya krisis ekonomi pada akhir tahun 1990-an.
• Kondisi perbankan di Indoneisa pada masa krisis ekonomi sejak akhir tahun 1990-an.
• Kondisi perbankan di Indonesia pada saat sekarang ini.
Perekonomian Indonesia masih mengalami pasang-surut, pemerintah melakukan kebijakan deregulasi dan debirokratisasi yang dijalankan secara bertahap pada sektor keuangan dan perekonomian. Salah satu maksud dari kebijakan deregulasi dan debirokratisasi adalah upaya untuk membangun suatu sistem perbankan yang sehat, efisien, dan tangguh. Dampak dari over regulated terhadap perbankan adalah kondisi stagnan dan hilangnya inisiatif perbankan. Hal tersebut mendorong BI melakukan deregulasi perbankan untuk memodernisasi perbankan sesuai dengan tuntutan masyarakat, dunia usaha, dan kehidupan ekonomi pada periode tersebut.
Pada 1983, tahap awal deregulasi perbankan dimulai dengan penghapusan pagu kredit, bank bebas menetapkan suku bunga kredit, tabungan, dan deposito, serta menghentikan pemberian Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) kepada semua bank kecuali untuk jenis kredit tertentu yang berkaitan dengan pengembangan koperasi dan ekspor.
Pada tahun 1988, pemerintah bersama BI melangkah lebih lanjut dalam deregulasi perbankan dengan mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang menjadi titik balik dari berbagai kebijakan penertiban perbankan 1971–1972.
Memasuki tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR.
Berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tersebut diatur kembali struktur perbankan, ruang lingkup kegiatan, syarat pendirian, peningkatan perlindungan dana masyarakat dengan jalan menerapkan prinsip kehati-hatian dan memenuhi persyaratan tingkat kesehatan bank, serta peningkatan profesionalisme para pelakunya.
Dengan undang-undang tersebut juga ditetapkan penataan badan hukum bank-bank pemerintah, landasan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip bagi hasil (syariah), serta sanksi sanksi ancaman pidana terhadap yang melakukan pelanggaran ketentuan perbankan.
Untuk meningkatkan praktek kehati-hatian bagi perbankan, Bank Indonesia mengeluarkan Paket Kebijakan tanggal 28 Februari 1991 (Pakfeb 1991) tentang Penyempurnaan Pengawasan dan Pembinaan Bank, yang memulai penerapan rambu-rambu kehati-hatian yang mengacu pada standar perbankan internasional yang antara lain meliputi ketentuan mengenai Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif.
Namun sekarang kondisi perbankan di Indonesia semakin membaik meski tekanan krisis keuangan global semakin terasa. Hal tersebut terlihat dari berkurangnya keketatan likuiditas perbankan dan tumbuhnya total kredit perbankan. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Mulyaman D Hadad mengatakan, berdasarkan data perkembangan terakhir, keketatan likuiditas sudah berkurang.
Dalam 2 bulan terakhir likuiditas mulai berkurang, tapi masih menjadi perhatian. Bertambahnya likuiditas perbankan tersebut karena ada pelonggaran ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) dan peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK), sedangkan total kredit tahun per tahun tumbuh 37,1 persen.
Pejabat senior IMF Perwakilan Indonesia Milan Zavadjil juga menyatakan bahwa sistem perbankan di Indonesia mulai kuat dan memiliki modal serta kinerja bagus yang tercipta karena membaiknya sistem pengawasan perbankan. Zavadjil yang dikutip dari keterangan pers di website IMF menyebutkan kinerja perekonomian Indonesia secara umum sangat baik dalam 10 tahun terakhir dengan memperbaiki makro ekonomi dan stabilitas sistem keuangan terutama di sektor fiskal dan kebijakan moneter.
Pernyataan ini sengaja dikeluarkan untuk meluruskan pemberitaan yang keliru oleh media-media di Indonesia mengenai penilaian atas ekonomi Indonesia dalam laporan IMF mengenai kondisi stabilitas sistem keuangan Indonesia yang dipublikasikan beberapa waktu lalu.
Kilas Balik Perbankan Tahun 2004 dan Prospeknya Tahun 2005
MEMPERKIRAKAN prospek perbankan Indonesia tahun 2005 tentunya haruslah ditilik terlebih dahulu kinerja perbankan 2004 dan perkembangan ekonomi makro. Sejauh ini banyak ekonom dan lembaga riset memperkirakan perekonomian Indonesia akan tumbuh sekitar 4,5-5,0 persen di tahun 2004. Kendati angka ini masih rendah dibandingkan angka sebelum krisis yang rata-rata sebesar tujuh persen, namun pencapaian itu cukup menggembirakan mengingat hiruk-pikuk aktivitas politik sepanjang tahun 2004 sempat menghantui kalangan dunia usaha.
KEPRIHATINAN juga mengemuka karena pertumbuhan ekonomi masih dimotori pengeluaran konsumsi, rumah tangga maupun pemerintah. Maklum, sektor riil belum sepenuhnya beroperasi normal, salah satunya karena lambannya arus investasi. Investasi yang masuk masih berputar di portofolio saham (portfolio investment). Kendati demikian, pertumbuhan yang masih ditopang sektor konsumsi mampu menyangga kestabilan ekonomi dan moneter, tercermin dari mantapnya angka- angka laju inflasi, kurs rupiah, dan suku bunga.
Secara umum, sepanjang tahun 2004 perbankan nasional belum mengalami pertumbuhan yang berarti. Hal ini terutama tampak dari sisi aset dan dana pihak ketiga (DPK) per Agustus 2004 yang melambat. Meski demikian, sampai dengan triwulan ketiga 2004, profitabilitas perbankan umumnya naik, akibat perolehan net interest margin (NIM) yang tinggi, mencerminkan pendapatan bunga kredit membaik, walau kontribusi pendapatan bunga obligasi pemerintah masih cukup signifikan bagi bank rekap.
Di samping kredit, aktiva perbankan masih didominasi obligasi pemerintah sebesar Rp 297 triliun di mana bank-bank yang menikmati obligasi rekap berbunga tetap memperoleh selisih (spread) yang baik seiring dengan tren turunnya suku bunga penjaminan dan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Pencapaian laba bersih yang cenderung meningkat juga ditunjukkan dengan ROA yang naik menjadi rata-rata 2,8 persen.
Sejalan dengan perkembangan dana, maka pertumbuhan kredit juga tidak sebaik tahun sebelumnya (2003), karena untuk tahun 2004 diperkirakan hanya akan bertumbuh 15-17 persen. Alhasil, terjadi kesenjangan yang signifikan antara akumulasi DPK dengan total kredit diberikan, tercermin dari posisi rasio kredit terhadap total DPK (loan to deposit ratio/LDR) yang hanya 47,9 persen pada Agustus 2004.
Namun, perlu sikap kritis mencermati angka LDR tersebut. Intinya, jangan sekali-kali mengartikan bahwa LDR di bawah 50 persen masih jauh dari ideal (90-110 persen), karena perhitungan LDR saat ini terjadi setelah unsur kredit bermasalah dan kredit macet tidak dicatat dalam pembukuan bank pascapengalihan kredit tersebut ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional waktu itu.
Hanya tetap diprihatinkan adalah posisi rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) yang cukup tinggi, sekitar 7%, yang berarti masih di atas batas maksimal NPL lima persen sesuai ketentuan Bank Indonesia. Meski angka NPL cenderung menurun, namun hal ini masih menjadi salah satu "pe-er" serius perbankan nasional yang harus segera dibereskan agar membaiknya kinerja tidak ternoda.
Prospek 2005
Dari gambaran perkembangan perbankan tahun 2004, maka arah dan geraknya masih akan berlanjut di tahun 2005. Meski demikian, perbankan harus mewaspadai gejala-gejala berikut ini. Pertama, makin agresifnya pemasaran produk reksa dana dan pencatatan saham baru serta penerbitan obligasi korporasi dengan peringkat yang baik (investment grade) akan mendorong terjadinya pengalihan dana pemodal yang berdampak pada stagnannya posisi DPK.
Antisipasi yang bisa dilakukan perbankan adalah menyesuaikan suku bunga dana, lebih-lebih dengan naiknya suku bunga The Federal Reserve Bank di Amerika Serikat menjadi dua persen baru-baru ini dan bakal naik lagi bulan depan ini, agar relokasi dana ke luar sistem perbankan dapat ditahan. Penyesuaian suku bunga dana ini akan membawa implikasi biaya dana (cost of fund) melonjak. Kalau tidak, maka konsekuensinya akan terjadi konversi dari dana mahal (deposito) ke dana murah (tabungan, giro).
Kedua, perbankan nasional perlu meningkatkan efisiensi operasional sejalan dengan potensi lonjakan biaya dana. Bahkan optimalisasi efisiensi operasional ini hampir pasti tak terhindarkan mengingat kenaikan harga bahan bakar minyak bakal menjadi kenyataan. Efisiensi operasional bisa ditingkatkan melalui pemberdayaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia perbankan Indonesia agar mampu bekerja secara cerdas dan efisien (smart workers). Sejalan dengan itu, dukungan teknologi informasi juga tak terhindarkan sebagai upaya menekan penggunaan tenaga manual yang sifatnya padat karya.
Ketiga, perbankan nasional harus melakukan konsolidasi melalui beberapa cara seperti merger dan akuisisi, melakukan aliansi strategis dengan sesama bank maupun lembaga keuangan bukan bank dalam konteks strategic partner atau co-opetition atau partnership, dan melakukan strategi pertumbuhan secara nonlinier lainnya.
Keempat, ekspansi kredit tidak lagi bertumpu pada sektor-sektor tradisional atau konvensional melainkan beralih ke sektor-sektor yang sebelumnya dihindari perbankan. Sektor tersebut, misalnya sektor infrastruktur (jalan tol, kelistrikan), pertambangan, pertanian dalam arti luas, agrobisnis, dan konstruksi. Pola pembiayaan boleh jadi akan dilakukan melalui pola sindikasi, dengan alasan untuk menekan potensi risiko dan menghindari pelanggaran BMPK.
Alokasi kredit juga akan beralih dari segmen pasar korporasi ke segmen pasar ritel (mikro, kecil dan menengah/UKM). Sejalan dengan platform ekonomi pemerintah untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan, maka pembiayaan sektor UKM akan mendapat dukungan politis pemerintah. Sinyal ini sudah direspons oleh beberapa bank swasta yang mendirikan unit layanan mikro di daerah-daerah.
Kelima, bank-bank tetap akan terus berupaya untuk memenuhi aturan BI terutama yang terkait dengan rasio CAR (sekitar 20 persen), BMPK (di bawah 20 persen untuk debitor stand-alone dan di bawah 10 persen untuk debitor yang terafiliasi dengan bank), dan NPL (maksimal 5 persen neto). Sementara terhadap rasio-rasio keuangan utama lainnya, seperti NIM, NII, ROA, ROE, dan ROI, akan dioptimalkan melalui peningkatan kinerja.
sumber Referensi:
1. 1. Buku Bank dan Lembaga Keuangan Media InternetWebsite Resmi Bank Indonesia (
www.bi.go.id)
2. 2. www.unisosdem.org/article_detail.php